Saya tersentuh setiap mendengar percakapan ini. Saya bayangkan Will nantinya sebagai pacar, sebagai suami, dan sebagai anak, pasti menyenangkan karena sejak kecil terbiasa diminta pendapatnya dan dilatih mengapresiasi dengan cara yang baik.
Anak laki-laki yang dibiasakan mengapresiasi keindahan dengan kata-kata yang baik, tentulah diharapkan akan menjadi laki-laki dewasa yang pandai menghargai perasaan orang lain dan memilih kata-kata yang baik dalam bicara, kepada orangtuanya, pasangan maupun teman-temannya.
Berapa banyak anak laki-laki kita yang diajarkan sejak kecil untuk mengapresiasi perempuan (minimal, ibunya), dengan kata-kata yang baik dan lembut?
Kita berdalih bahwa jika mengajarkan mereka berkata-kata manis dan santun, nanti anak laki-laki kita menjadi feminin dan tidak jantan. Apakah benar demikian? Sebaliknya, kalau memang dia seorang waria atau gay, apakah otomatis dia akan bisa bicara dengan santun dalam mengemukakan pendapat dan mengekspresikan emosinya, tanpa dilatih?
Tidakkah dengan terbiasa menghargai pendapat anak dan mengajarkannya untuk terbiasa bicara dengan tepat, justru akan menyenangkan bagi lawan bicaranya? Tidakkah kita sadari bahwa kekerasan verbal yang terjadi dalam hubungan sehari-hari merupakan akumulasi respon dari perlakuan yang kita terima sejak kecil?
Terlalu sering kita tidak meminta pendapat anak-anak kita, meremehkan pendapatnya, mengabaikan keluhannya, sehingga ketika terjadi komunikasi verbal maka meledaklah sumbatan-sumbatan emosi yang terpendam selama ini. Yang muncul adalah kata-kata kasar, makian, hujatan, kritik dan celaan yang terlalu pedas sehingga menyakitkan buat didengar dan diingat.
Bahkan anak laki-laki kita tidak pernah diajarkan untuk mengenali perasaannya dengan benar, sehingga ia jadi sering salah mengekspresikan perasaannya. Contohnya, beberapa hari lalu saya dengar di angkot. Sekelompok anak perempuan dengan seragam SMP dan berjilbab yang menunggu di pinggir jalan, menolak naik angkot yang lewat karena banyak siswa laki-laki di dalamnya. Dan 7 orang anak laki-laki di dalam angkot itu, yang notabene juga adalah teman-temannya, para siswa SMP dengan baju koko berteriak…: “Huuu…sombong banget luuu… Kayak masih perawan aja lu, belagu amat…” (dan serangkaian kata-kata kotor lainnya!)
Ampun, ampun, begitukah cara yang tepat dalam mengkomunikasikan emosi kita?
Kalau demikian, maka tidak heran jika kekerasan verbal menjadi aspek penyebab trauma yang paling menonjol pada pasien yang datang kepada saya.
Ini berdampak pada buruknya hubungan orangtua dan anak, antara pasangan dalam berpacaran, serta antara suami dan istri.
Pantaslah banyak sekali orang yang datang dengan trauma akibat buruknya komunikasi verbal yang terjadi sejak kecil. Pantaslah banyak orang menyimpan marah dan dendam akibat kata-kata kasar yang bertebaran di sekitarnya sejak kecil, selama bertahun-tahun, sedikit demi sedikit.
Pantaslah seorang ibu usia 60 tahun yang telah menikah selama 45 tahun, merasa depresi berat selama pernikahannya, sering menangis tanpa sebab. Ternyata selama 45 tahun menikah, ia stress dan depresi berat karena suaminya selalu berkata-kata kasar, merendahkan, tidak menghargai dirinya sebagai perempuan dan istri, hanya memberikan uang tapi tidak mau terlibat dalam berkomunikasi dengan anak, dst, dst Dan sekarang ia tak tahan lagi, ia ingin bercerai saja…setelah 45 tahun menahan penderitaan batin. Suaminya yang kaya raya itu memang tidak main tangan, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya kasar dan bikin pedih. Dan kata-kata yang menusuk hati itulah yang meruntuhkan self-esteem pasangan kita, anak-anak kita, terbawa sampai tuaaa...
Dan, karena kita jarang mengambil hikmah dari kejadian di sekitar kita, maka kita pun secara tak sengaja mengulangnya dari generasi ke generasi: berkata kasar, memaki, menghina, mengumpat, membanding-bandingkan, mencela, dst.
Hasilnya, lihat sendiri di sekeliling kita…
Seksolog, Hypnoterapis dan Grafolog
Klinik Angsamerah
Tel. 021-391-5189
www.angsamerah.com
www.babyjimaditya.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar