Selasa, 20 Agustus 2013

SAATNYA BERKESEHATAN JIWA DALAM BERKOMUNIKASI - Dr. Ratna Mardiati, SpKJ

mind sketch by ns
Setiap hari kita bertemu orang, menyapa, berbicara, mendengarkan dan banyak berkata-kata. Apakah ini suatu bentuk komunikasi? Kalau kita melihat iring-iringan semut ditembok, semut juga memberi sapaan pada kawan-kawannya. Mereka juga berkomunikasi. Meski komunikasi dilakukan setiap saat dalam kehidupan kita sehari-hari, komunikasi masih saja bermasalah: miskomunikasi. 

Miskomunikasi merupakan pemicu ketidak harmonisan relasi antar manusia, antar bangsa bahkan antar makhluk.

Hidup damai, saling menghargai, saling mengasihi, adalah kunci kesejahteraan. Kesejahteraan merupakan ciri kesehatan jiwa. Berbicara jiwa, orang menggambarkannya sebagai sesuatu yang tidak nampak namun terasa. Jiwa adalah cermin dari perasaan, pikiran, dan perilaku. Meski lembut tutur bahasa, bilamana perilaku tidak mengiringi, maka jiwa tidak menunjukan bahwa ia sehat. Meski termenung tidak berkata, tidak mengganggu orang lain, orang akan membaca sebagai orang dengan jiwa sedang tidak sehat. Jiwa tidak sehat bukan monopoli orang gila (baca: skizofrenia), ia cermin dari segala ketidak serasian antara pikiran-perasaan dan perilaku. Maka suatu saat dalam hidup kita, kita pernah mengalami gangguan jiwa, tak pandang status sosial maupun ekonomi.

Komunikasi
Komunikasi terjadi atas beberapa syarat, yaitu adanya pihak yang berkomunikasi (pemberi dan penerima pesan), alat komunikasi (tubuh, mimik, suara, atau alat bantu komunikasi seperti ponsel, dsb), dan lingkungan tempat komunikasi. Pihak yang berkomunikasi perlu dapat menyampaikan pesan jelas sehingga penerima komunikasi menangkap seperti apa yang dikehendaki oleh pemberi pesan.  Bahasa tubuh pemberi dan penerima pesan juga merupakan sarana menyamankan komunikasi.

Banyaknya perihal yang terlibat dalam komunikasi, kita batasi saja pembicaraan pada pemberi dan penerima pesan, pada orangnya. Pemberi dan penerima pesan, tentu saja pada alat-alat yang mentransfer komunikasi dan ketrampilan menyampaikan komunikasi.

Komunikasi dan Otak
Otak merupakan kumpulan sel-sel syaraf dengan silang menyilang serabut syaraf bagai kabel-kabel telepon atau sirkuit listrik dan komunikasi sel syaraf adalah percikan arus listrik yang saling sambung menyambung. Masing-masing sel syaraf saling berhubungan dan saling dapat memindahkan (transfer) listrik komunikasinya kepada sel syaraf lainnya. Percikan listrik dimungkinkan karena adanya alat neurotransmitter (alat transmisi antar sel syaraf). Semisal saya membicarakan hal A, dan berharap syaraf A’ yang menerima, lalu saya berubah pendapat tiba-tiba akan membicarakannya dengan sel B. Maka loncatan listrikpun berpindah ke sel B’. Jadi loncatan neurotransmitter ini dapat berpindah lebih cepat dari suara kita, sebab arus listriknya sangat cepat.


Sampai di suatu pusat analisis otak, informasi akan dianalisis artinya/makna dibalik kata/bahasa tubuh yang menyertai, dst. Lalu masih diimbuhi unsur emosi oleh sebuah sistem emosi di otak tengah, baru diteruskan ke otak logika yang akan menyiapkan jawaban (respon) dalam bentuk kata disertai mimik dan bahasa tubuh lainnya yang dianggap sesuai oleh penerima pesan.


Korteks frontal adalah tempat logika, bagian tengah (striatum, substansia nigra, VTA, nucleus akumbens) unsur emosinya kuat.

Neurotransmitter yang memegang peran penting di otak banyak sekali, utamanya adalah dopamin dan serotonin.

Komunikasi dan Neurotransmitter
Neurotransmitter meneruskan percikan listrik dari satu sel syaraf ke sel syaraf lainnya. Bilamana neurotransmitter yang bekerja berunsur banyak dopamine, maka orang dengan riang, senang, gembira menanggapi atau menerima komunikasi dan mungkin komunikasi akan berjalan lancar serta menyenangkan. Dopamin keluar di saat-saat kita bergembira (makan menonton, terpesona, jatuh cinta dsb). Sayangnya keluarnya dopamin yang berlebihan identik dengan gejala skizofrenia.

Skizofrenia adalah keadaan gangguan jiwa dengan pengeluaran dopamin yang berlebihan sehingga terjadi kekacauan sirkuit listrik komunikasi. Orang menjadi kebingungan, curiga, tidak jelas mana yang nyata dan mana yang angan-angan. Contoh dapat kita simak dari kebingungan pada kasus mutilasi ibu kandung di Pejompongan bulan Juli 2013 yang diberitakan oleh media .

Lain lagi kerja neurotransmitter serotonin, suatu neurotransmitter yang mengatur tidur dan terjaga manusia, serta keinginan kuat untuk mencapai dorongan motivasi. Ingin unggul dari orang lainnya. Melalui proses belajar dan suasana hati yang menyenangkan. Kekurangan serotonin membuat orang merasa kehabisan energi, malas, tak berkehendak, tak ingin mencapai cita, letih dan lesu. Gejala seperti ini dialami oleh mereka yang depresi.

Jadi komunikasi manusia diatur oleh otak, dan unsur neurotransmitter. Gangguan jiwa seperti insomnia, depresi, manik, cemas , fobia, skizofrenia adalah permainan ketidak beresan neurotransmitter. Tugas psikiaterlah mengatur neurotransmitternya untuk bekerja lebih baik melalui pengobatan. Akan tetapi perlu diingat bahwa bukan hanya neurotransmitter saja yang perlu diperbaiki dalam komunikasi, namun juga ketrampilan berkomunikasi.

Komunikasi dan ketrampilan berkomunikasi
Ketrampilan berkomunikasi tidak dapat diselesaikan dengan menelan obat jiwa. Ia memerlukan pembelajaran sejak anak belajar berkomunikasi. Ibu merupakan unsur utama dalam membangun komunikasi yang bermakna. Menurut Maria Berger dari Program Parent-Child Mental Health dalam Mental Health Minute, komunikasi dimulai sebelum anak dilahirkan. Ia memerlukan suasana keluarga yang anggota keluarganya mempunyai ketrampilan komunikasi yang baik. Komunikasi memerlukan keinginan untuk mendengar, mengatakan, dan memerhatikan makna yang dikatakan dan yang didengarkan. Banyak kata yang multi tafsir, akan tambah multi tafsir makanala diekspresikan dengan bahasa tubuh yang bertolak belakang dengan ekspresi.

Isu ketrampilan komunikasi bisa datang dari keterbatasan waktu orangtua untuk kontak dengan anak. Misalnya orangtua senantiasa memerintah tanpa alasan yang memadai penjelasannya. Ketrampilan yang buruk dalam berkomunikasi dampaknya akan jauh mendalam sampai masa depan, sebab ia kemudian membangun kepribadian anak ketika dewasa. Ia menjadi orang yang berkomunikasi buruk sehingga hubungan sosial tidak berjalan lancar, dan pekerjaan akan terkena dampaknya secara ekonomi. Selain itu disertai hubungan dengan pasangan dan kesehatan mental yang dapat terganggu.

Meninggalkan pembicaraan dalam suasana marah, berwajah masam, lelah, menolak, bagi seorang anak merupakan beban besar. Ia akan dapat menggelembungkan suasana ini menjadi ancaman dunia dalam kehidupannya, bukan hanya ancaman ibu terhadapnya. Seorang ibu yang bijak akan mendengarkan perkataan anak dan menjawabnya menggunakan pernyataan ‘saya’. Ibu yang bijak akan menghadapkan wajah pada anak, berusaha mengerti apa yang diucapkan anaknya, menjaga keras dan nada suara. Dengan cara demikian maka anak merasa ia didengarkan, merasa berharga diri, dan dimengerti. Maka anak akan belajar menjadi orang yang demikian pula.

Pembicaraan reflektif dapat dilakukan melalui permainan mengulang perkataan anak atas pikiran dan perasaannya. Contoh pernyataan ‘saya’ adalah “Kalau kamu lapar dan minta susu dengan senyum, saya merasa senang dan membuat saya untuk cepat membuatkan susu buatmu. Terimakasih nak.”.  Teknik ini mengekspresikan perasaan anak untuk tidak terancam, merasa menjadi anak yang ‘nakal’ atau dipersalahkan.

Selamat sehat jiwa, pengantar masa depan lebih sejahtera.

*Tulisan ini terbit dalam Warta Bea Cukai

Membutuhkan Dr. Ratna Mardiati untuk Ketrampilan Komunikasi untuk STAF Anda, KARIR Anda, atau KELUARGA Anda?

Kontak kami Institusi Angsamerah
Telp + 62 21 391 51 89
E-mail: customer@angsamerah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar