Tanggal 9-10 April yang lalu, saya sebagai anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengunjungi 7 Lembaga Pemasyarakatan di Nusa Kambangan.
Di hari pertama saya berkesempatan mengunjungi Polres Cilacap. Bersama anggota Kompolnas Prof. DR Adrianus Meliala, kami diterima dengan sangat ramah oleh Kapolres Cilacap AKBP Wawan Muliawan, SH., SIK., MH., dan Wakapolres Kompol Kusumo Wahyu Bintoro SH., SIK., beserta jajarannya. Walaupun kami bertamu menjelang malam hari sehabis Magrib, sambutan beliau sangat hangat dan terbuka sehingga diskusi berjalan produktif.
Diselingi hujan gerimis yang menyejukkan kota Cilacap, kami diajak berkeliling ke seluruh unit yang ada di lingkungan Polres Cilacap, terutama ke unit Perlindungan Perempuan dan Anak, serta ruang tahanan.
Dari 11 orang lelaki yang menjadi tahanan, 3 orang diantaranya adalah anggota polisi, dan 8 orang dari kalangan masyarakat. Dari 8 orang ini ada 2 kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap anak perempuan di bawah umur. Kedua tahanan ini memperkosa pacar yang berusia di bawah 18 tahun, dengan alasan toh akan “bertanggung jawab” yaitu akan mengawininya sehingga wajar jika mereka minta melakukan hubungan seks. Mereka bahkan keberatan mengapa keluarga sang pacar mereka mengadukan hal ini ke polisi sehingga mereka ditahan.
Petugas unit Perlindungan Perempuan dan Anak mengatakan bahwa kasus perkosaan dan pencabulan terhadap anak di bawah umur di Cilacap cukup tinggi. Salah satu kasus yang menonjol adalah seorang kakek berumur 90 tahun yang mencabuli anak bayi berusia 1 tahun dengan cara memasukkan jarinya ke vagina anak tersebut sehingga terjadi perdarahan. Kasus tersebut sudah ditangani oleh Polres Cilacap. Pulang dari Polres, kami kembali ke hotel untuk rapat bersama para Kepala Lapas se-Nusa Kambangan. Di acara makan malam sebelum rapat, kak Seto (DR. Seto Mulyadi), psikolog anak yang duduk di depan saya menerima laporan via telepon tentang kasus perkosaan yang dilakukan seorang bupati di Ambon terhadap anak perempuan berumur 13 tahun.
Astaga, apa yang sedang terjadi dengan orang-orang ini? Kenapa kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur begitu menggila? Lebih parah lagi, pelakunya adalah orang-orang yang dikenal dan disegani oleh korban, padahal orang- orang ini seharusnya menjaga, bukan malah memangsa mereka.
Dalam beberapa bulan terakhir ini kasus perkosaan dan pencabulan terhadap anak perempuan di bawah umur sangat marak. Sepulang dari Nusa Kambangan, saya menyimak berita di televisi tanggal 11 April 2013 tentang perkosaan yang dilakukan oleh seorang guru mengaji di Bandung. Guru mengaji yang secara otomatis dituruti dan dipatuhi oleh murid-muridnya ini malah memperkosa dan mencabuli 12 orang murid perempuannya yang masih di bawah umur. 8 orang gadis kecil ini diperkosa berkali-kali dan 4 orang lainnya dicabuli berulangkali. Anda bisa bayangkan apa yang dilakukan orang dalam konteks “mencabuli” ini, dan sudah pasti dilakukan berkali-kali. Sementara korban sering tidak berdaya karena yang melakukannya adalah orang yang dia hormati, disegani dan harus dipatuhi. Sudah pasti korban sulit menceritakan kepada orang lain apa yang dialaminya karena mereka dibujuk rayu, ditakut-takuti bahkan diancam akan dibunuh jika berani bicara.
Di Situbondo, SR (15 tahun) berkali-kali diperkosa oleh tetangganya Subroto (35 tahun) seorang pria beristri, di gubuk di tengah sawah dengan cara dibopong dalam keadaan terikat tangan dan kakinya. Pelaku mengimingi-imingi korban dengan janji akan membelikan handphone. Sementara di Ogan Komering Ulu seorang kakek mencabuli anak tetangganya, yang masih duduk di kelas I Sekolah Dasar.
Seorang kakek di Medan, Nasrun (74 tahun) yang bertugas sebagai penjaga rumah ibadah memperkosa dua orang gadis cilik berumur 9 tahun dan 7 tahun berulangkali di kamar mandi rumah ibadah tempatnya bertugas. Kedua bocah ini diiming-imingi uang Rp 2.000 - Rp 5.000 disertai ancaman agar tidak menceritakan hal ini kepada orangtuanya. Sementara di Gresik, seorang ayah yang kecanduan nonton film porno memperkosa anak kandungnya yang berusia 14 tahun berulang kali hingga hamil 8 bulan. Kasus-kasus yang muncul ke permukaan hanyalah ibarat puncak gunung es, di mana jumlah kasus yang tidak dilaporkan pasti jauh lebih banyak lagi.
Jika saja kita mau sedikit repot bersusah payah mengajarkan kepada anak-anak kita bagaimana mengenali tubuhnya sendiri dan melindunginya dari sentuhan dan pelukan yang mencurigakan, tentu akan lebih mudah bagi anak-anak untuk mengenali ancaman yang ada di sekitarnya.
Sejak kecil tanamkan kepada anak bahwa dirinya sangat berharga, sehingga dia mengerti bahwa tubuhnya hanya boleh disentuh oleh orang tertentu dalam batas tertentu, misalnya hanya boleh disentuh oleh ibu, ayah, nenek, pengasuh atau dokter.
Terlalu sering kita mengajarkan anak untuk bersikap sopan dan tidak menolak ketika disentuh orang lain seperti kenalan, sahabat, atau kerabat, sehingga anak bingung bagaimana harus bereaksi ketika tubuhnya disentuh di bagian yang harusnya tidak boleh disentuh orang lain. Sebaiknya ajarkan anak mengenali jenis-jenis sentuhan, mulai dari sentuhan yang tidak mencurigakan, sentuhan yang membingungkan, hingga sentuhan yang buruk dan harus dicurigai yaitu pada payudara, perut, pinggang, pinggul, vagina, penis, dan pantat. Semua harus dijelaskan dengan istilah-istilah yang jelas dan berulangkali sehingga anak mengerti maksudnya.Bahkan anak harus diajarkan untuk berani berteriak jika terjadi sentuhan-sentuhan buruk itu agar mendapat pertolongan dari orang yang ada disekitarnya.
Sebaliknya orang dewasa juga mesti lebih peka membaca sinyal-sinyal yang diberikan anak, karena pasti mereka sulit menceritakan apa yang dialaminya akibat diancam oleh pelaku, sekaligus takut disalahkan oleh orang yang mendengar laporannya. Apalagi pelaku pencabulan, kekerasan seksual hingga pemerkosaan seringkali adalah orang yang dikenal dan harus dipatuhi sehingga korban takut dan enggan membuka kasus ini, bahkan cenderung menyalahkan diri sendiri.
Anak-anak hendaknya juga diajar untuk waspada, bahwa tidak selalu orang dewasa atau berusia tua, yang secara sosial harus dihormati atau disegani itu memang PANTAS dipatuhi atau dituruti keinginannya. Karena yang menjadi tolok ukur hendaknya bukan usia, pangkat, kekayaan atau kedudukan sosial mereka, tapi justru perlakuannya terhadap tubuh anak. Dengan mengajarkan tentang hak-haknya, anak-anak jadi mengerti bahwa diri mereka berharga dan pantas mendapatkan perlakuan yang bermartabat. Bukan sebaliknya, dimangsa oleh orang-orang tua yang seharusnya melindungi mereka, dengan alasan "menyayangi", "memperhatikan", "menyantuni" atau "memberi hadiah" buat anak, tapi dengan maksud busuk di baliknya.
Baby Jim Aditya M.Psi., Psikolog
Seksolog, Hypnoterapis, Grafolog
Klinik Angsamerah - Jl Blora 8 - Jakarta Pusat
telp. 021-391-5189
www.angsamerah.com
www.babyjimaditya.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar