Tadi malam saya diwawancara oleh Radio Sonora 92 FM dengan topic utama Pernikahan di Usia Dini. Banyak sekali respon dari pendengar dari berbagai kota di Indonesia, baik melalui telepon maupun SMS. Sebagian besar adalah perempuan yang bercerita bahwa mereka adalah korban perkosaan di usia dini. Atau remaja laki-laki dan perempuan yang telah melakukan hubungan seks sebelum menikah. Tentu, seperti banyak kasus lainnya, pihak orangtua tidak pernah tahu apa yang terjadi pada anaknya.
Ada seorang perempuan , umur tahun yang diperkosa pada umur 7 tahun.
Ada laki-laki, umur 21 tahun yang pacarnya diperkosa pada umur 8 tahun.
Ada lagi ibu rumah tangga umur 42 tahun yang dinikahkan pada umur 13 tahun, dan sudah nikah 4 kali tapi belum punya anak.
Salah satu kasus yang diceritakan melalui telepon adalah dari seorang perempuan muda, usia 17 tahun yang mengalami perkosaan pada Januari 2013 dan hingga kini masih mengalami perdarahan, mengalami rasa sakit setiap kali kencing, serta sering keluar cairan dari vagina. Ketika ditanya lebih lanjut, penelpon mengatakan bahwa ia tidak menceritakan masalah ini kepada orangtuanya karena takut dimarahi. Ia juga tidak mendapatkan perawatan medis apalagi layanan psikologis untuk luka-luka lahir dan batin yang terjadi akibat perkosaan tersebut.
Saya tercengang. Astaghfirullah..., masalah ini begitu berat dan menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan alat-alat reproduksinya, serta menimbulkan trauma dan stress bagi jiwanya, tapi mengapa ia tidak berani menceritakan hal ini kepada orangtuanya?
Sudah 4 bulan peristiwa perkosaan ini berlalu, tapi mengapa orangtuanya juga sama sekali tidak sensitif terhadap perubahan yang mungkin diperlihatkan oleh anaknya? Apakah begitu buruknya kualitas hubungan antara orangtua dan anak, sehingga anak hanya memendam semua masalahnya, padahal seharusnya ia segera mendapatkan pertolongan?
Perdarahan yang terjadi sejak bulan Januari sampai sekarang mungkin terjadi karena adanya infeksi berat karena tindak kekerasan dalam perkosaan itu, bahkan mungkin terjadi robekan yang luas dan mendalam di organ reproduksi yang demikian lembut. Kita tidak tahu separah dan sekasar apa tindakan yanh dilakukan pemerkosa sehingga menimbulkan luka trauma fisik yang serius semacam itu. Bahkan korban perkosaan juga rentan tertular Infeksi-infeksi Menular Seksual seperti Kencing Nanah, Sifilis, Herpes, Chlamidya, Kutil Kelamin, dll. Lebih jauh lagi, korban bahkan rentan terinfeksi HIV akibat tindak perkosaan itu. Secara psikologis korban pasti mengalami campur aduk antara rasa jijik pada diri sendiri, malu, merasa bersalah, merasa kotor, merasa berdosa, ketakutan dan kemarahan, munculnya perasaan tidak berdaya, hingga trauma-trauma jiwa yang sulit dipahami orang selain korban. Belum lagi ketakutan akan hukuman sosial karena yang disalahkan selalu korban perkosaan, tapi pelaku perkosaan seolah bebas dari tudingan dan hukuman sosial. Sungguh menyakitkan!
Sementara SMS dan telepon dari pendengar laki-laki seringkali bersikap menghujat dan menghakimi pelaku pernikahan usia muda dan korban perkosaan, seolah mereka adalah orang-orang yang kotor, terlalu matre, terlalu menantang sehingga laki-laki tergoda untuk memperkosa, tapi sekaligus juga menuduh perempuan itu kurang kuat imannya, tidak bermoral, dan semacamnya...
Ampuuuuunnnn....padahal SMS dari remaja laki-laki umumnya bertanya tentang bagaimana seringnya mereka onani, bagaimana mereka sering mengajak pacar berhubungan seks, bagaimana membuktikan pacar tidak perawan lagi, bagaimana mereka tidak bisa mengelola dorongan seks...
Pertanyaan-pertanyaan ini terus menggema di kepala saya hingga pagi ini…
Sebegitu burukkah hubungan anak-anak kita dengan kita sebagai orangtuanya, hanya karena kita para orangtua tidak pernah mau menyediakan telinga dan hati untuk mendengar? Karena kita sebagai orangtua cenderung hanya menghakimi ketika terjadi suatu masalah, tapi lupa memahami bahwa kita sebenarnya juga berkontribusi terhadap kegagalan komunikasi ini. Apakah anak-anak kita begitu enggannya berkomunikasi dengan kita, hanya karena kita terlalu galak, kasar, memaksakan kehendak, tidak mau mendengar pendapat dan keluhan mereka, sehingga komunikasi yang terjadi hanya searah dan hanya berdasarkan kepentingan orangtua? Jadi, kepada siapa anak-anak itu harus berbagi beban?
Bahkan ratusan SMS yang masuk ke nomer saya sejak tadi malam pun menyiratkan hal yang sama: mereka tidak bisa mengkomunikasikan kegalauan mereka kepada orangtua, apalagi jika menyangkut informasi tentang seksualitas, kesehatan seksual, kesehatan reproduksi dan perilaku seksual yang benar.
Akhirnya mereka jadi bingung, mau tanya orang tua, disalahkan dan dituduh...
Mau tanya guru, sama juga: disalahkan, dituduh.... Tanya teman, sama-sama nggak ngerti... sementara dorongan untuk tahu dan mencoba sangat tinggi...
Baby Jim Aditya M.Psi., Psikolog
Seksolog, Hypnoterapis & Grafolog
Klinik Angsamerah - tlp 021-391-5189
www.angsamerah.com
www.babyjimaditya.com
Hola Sahabat Pembaca Angsamerah,
Artikel-artikel di Blog ini sekarang sudah bisa Sahabat Akses di website kami di blog.angsamerah.com
Blog ini akan kami tutup, dan artikel terbaru akan kami muat di website kami, yang secara khusus memiliki sistem "search" yang memudahkan sahabat memilih artikel dan juga membaca dengan nyaman.
Minggu, 09 Juni 2013
Komunikasi Orangtua - Anak: Sebegitu Burukkah?
Labels:
Baby Jim Aditya,
Kekerasan Seksual,
Komunikasi Orang Tua dan Anak,
Parenting Seks,
Seksologi,
Seksualitas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar