Kamis, 18 Juli 2013

KOMUNIKASI KITA DAN ANAK: MENGAPA SERING BERMASALAH? By Baby Jim Aditya

Kemarin siang saya ikut nebeng mobil teman, seorang ibu berusia 46 tahun. Di daerah Kebayoran, ia menjemput putranya, murid kelas II SMA dan kemudian anak ini mengambil alih kemudi.

Tujuan kami ke Pancoran. Anak ini dengan sigap mengambil jalan pintas di suatu tempat menuju Tendean. Niatnya tentu baik, menghindari kemacetan yang muncul lebih awal pada hari-hari di bulan puasa ini. Begitu masuk jalan itu, ibunya komentar, “Mas, kok lewat sini? Emangnya tau jalannya? Ntar nyasar, lho” Anaknya berkomentar dengan malas, “udah, tenang aja, saya sering lewat sini, kok. Ada teman yang tinggal dekat sini.” Memang nampaknya perjalanan akan lancar karena jalan ini relatif sepi.

Baru sekitar 200 meter melaju, jalan mulai tersendat. Ternyata jalan ini mengecil, hanya cukup untuk satu mobil, melewati jembatan di atas sungai di perkampungan padat. Di sisi kanan kiri berderet pedagang makanan buka puasa: tukang jual gorengan, es buah, jus, bakso, aneka lauk pauk yang dikerumuni lalat karena dibiarkan terbuka. Ramai sekali orang mengelilingi penjual makanan itu. Tiba-tiba ada orang berteriak, “Gak bisa maju, ada panggung, ayo balik saja.”
Tentu saja suasana menjadi gaduh. Tidak mungkin mobil memutar, karena jalanan sangat sempit dan ramai.
Semua orang berteriak memandu agar mobil-mobil dan motor-motor tidak melanjutkan perjalanan. Bagi motor-motor, relatif lebih mudah untuk memutar dan berbalik. Tapi mobil sebesar Innova ini tentu harus super repot mundur sejauh 200 meter, dengan kondisi jalan sempit, penuh sesak oleh kerumunan orang, sepeda motor dan pedagang di kanan kiri.

Sudah dapat diduga, teman saya ngomel-ngomel karena menganggap anaknya sok tahu memilih jalan itu. Terjadi perdebatan sengit karena anaknya juga tidak terima disalahkan. “Khan Mama udah bilang, jangan lewat sini, kenapa kamu terusin? Anaknya jadi kesal karena ia juga tidak tahu bahwa di bulan puasa, jalan ini dipadati penjual. Apalagi ia juga tidak tahu kalau di depan ada panggung. “Ya, saya mana tahu kalau ramai begini. Biasanya sepi aja, kok. Udah donk jangan nyalahin saya terus, saya stress nih.”

Dikomandoi banyak orang untuk mundur, dapat dibayangkan betapa stress nya anak muda ini harus memundurkan mobil dalam gang yang super padat. Ia harus bolak-balik maju mundur. Ibunya juga ikut stress, setiap detik mulutnya mengomel’ “Ayo, mas, terus, terus, terus, balas kiri dikit. Awas, ada gerobak. Awas ada orang…awas…ada motor di kanan…awas nyenggol….awas spion…Aduhhh…hati-hati, donk, mas. Itu khan ada motor, masak nggak kelihatan…, dst, dst…”
Anak muda ini, yang sudah stess sejak tadi, semakin tertekan dengan teriakan orang-orang yang jadi pemandu dadakan, semakin stress dengan panduan dan omelan ibunya, “Udah, udah, donk…Jangan pada ngomong semua…saya juga ngerti…saya juga stress, tau nggak?” Suasana di dalam mobil tegang. Saya paham anak ini pasti dobel stress, mungkin malah triple stress karena tekanan dari orang-orang yang sok jadi pemandu tapi berbeda-beda panduannya. Stress karena panduan ibunya dibarengi omelan menyalahkan dirinya. Stress karena harus menahan marah karena ada saya dan satu orang lagi teman ibunya di dalam mobil.

Saya diam saja. Suasana sangat tidak enak. Anak ini sebenarnya anak baik, cukup kreatif dan cerdas, tapi tidak ada yang mengapresiasi. Saya cuma bisa nyeletuk sambil mengelus punggungnya, “Iya, mas tadinya, khan, niat baik, ya, biar kita nggak kena macet…Siapa yang tahu, ya, kalau di dalam ada keramaian begini?” Dia agak tenang, tersenyum, “Iya, Tante, saya juga nggak tahu kalo rame begini”

Setelah 10 menit yang menegangkan dan penuh suara perintah dari luar dan dalam mobil, kami tiba di jalan yang membelah dua, sehingga bisa memutar. Keringat sudah bercucuran di dahinya. Kami berucap, Alhamdulillah. Saya mencoba mengapresiasinya, “Wah, hebat, mas, luar biasa… Susah banget lho mundur sejauh itu…mana padat begini, lagi…” Ibunya yang dari tadi ngomel, diam saja, sama sekali tidak memberi apresiasi atau apapun kepada anak ini.

Tiba di jalan yang agak lengang, sekitar 2 menit setelah keluar dari suasana itu, tiba-tiba ia mengerem mendadak. Rupanya ada sepeda motor di depannya yang secara tak sengaja jadi tertabrak olehnya. Pengendaranya berhenti, marah-marah, minta dia turun. Ternyata bumper Innova ini menyeruduk plat nomer motornya sehingga melesak ke dalam. Suasana jadi kembali tegang. Ibunya ngomel-ngomel lagi. Saya cuma bisa bilang, “Mas, biar si Mama turun duluan…Terus mas juga turun, langsung minta maaf.”
Ibunya turun dan mendekati pengendara motor itu. Ternyata tidak ada kerusakan yang berarti, hanya pelat nomornya saja yang melesak ke dalam. Justru bumper mobil ini yang gores. Teman saya minta maaf pada orang itu, dan selesai. Anak muda ini bingung, tak bisa omong. Saya hanya bisa mengusap punggungnya. Itu sudah cukup membuatnya merasa ditemani, dan diberpihaki. untuk seorang anak berusia 17 tahun, pencapaian seperti ini luar biasa. Tidak adil jika dibandingkan dengan kemampuan ibunya yang sudah puluhan tahun menyetir. Bahkan ibunya pun mungkin belum pernah mengalami keadaan tegang seperti itu, harus mundur sejauh 200 meter dalam keadaan diteriaki banyak orang dan diomeli oleh ibunya sendiri.

Hhhhhh….apa yang terjadi? Mengapa justru setelah lewat badai stressnya, malah dia nyeruduk motor? Kita sering ngomel-ngomel nggak jelas, yang bikin orang-orang terutama anak dan pasangan kita stress, marah, tersinggung, tertekan atau dianggap tidak penting. Dan setelah anak kita melakukan pencapaian yang berarti, kita sama sekali tidak memuji atau memberi tanda bahwa hal itu dilakukan dengan benar. Seringkali, respon negatif anak bukan hanya dilakukan pada saat kejadian, tapi disimpan di memori dan meledak justru setelah kejadian itu berlalu. Berapa banyak kemarahan dan kerusakan yang terjadi hari ini justru karena adanya peristiwa di masa lalu, yang bahkan sudah kita tekan ke alam bawah sadar? Apakah ada di antara Anda yang pernah mengalami hal yang mirip seperti itu?

Baby Jim Aditya M.Psi., Psikolog
Seksolog, Hypnoterapis & Certified Grafolog
Klinik Angsamerah-telp 021-391-5189.



1 komentar:

  1. Dear, Baby Jim Aditya.
    Saya sangat setuju dengan artikel ini. Terima kasih telah merangkum pesan di dalamnya dengan contoh cerita yang mudah di-share ke teman-teman orang tua.

    Memang sebagai orang tua kita terlalu ingin melindungi anak-anak kita sampai justru memberi tekanan yang berlebihan dan sering lupa untuk memberikan rasa aman kepada anak sebagai modal kepercayaan dan perasaan diberpihaki. Padahal dua modal ini sangat besar perannya dalam pertumbuhan psikologis anak.

    Saya berharap banyak orang tua yang membaca artikel ini menjadi mengerti dan aware terhadap hal ini.

    Salam,
    Ryan

    BalasHapus