Minggu, 15 Desember 2013

KONDOM, SI MUNGIL YANG BEGITU FENOMENAL

…..dirimu kecil namun elastis…..
   …..bentukmu lucu namun dewasa…..
       …..hadirmu sering dipertentangkan….
          …..sosokmu dicari juga dihindari…..
             …..amanlah bagi yang mengerti…..
                …..resahlah bagi yang menjauhi…..

Sejak kemunculannya, kondom selalu menjadi suatu hal yang fenomenal. Sering kali dijadikan bahan untuk pertentangan. Tanpa disadari permasalahan kondom ini menciptakan 2 kubu yang saling bertentangan. Satu kubu sudah tentu mereka yang mengerti fungsi dan manfaat kondom dari berbagai sisi positif, sedangkan kubu satu lagi adalah orang-orang yang selalu menganggap kondom adalah hal yang tabu dan negatif tanpa pernah mau mencoba untuk memahami fungsinya secara medis, bahkan memvonis kondom sebagai alat untuk melegalkan seks ‘bebas’. 

Kondom pertama kali diperkenalkan sebagai alat untuk mencegah kehamilan dan dipromosikan bagi pasangan yang telah menikah untuk menunda kehamilan dan memberi jarak waktu kelahiran atau untuk menekan angka kelahiran yang dikenal dalam program Keluarga Berencana. Namun seiring dengan berjalannya waktu manusia mulai dihadapkan dengan suatu permasalahan dalam bidang kesehatan, yaitu HIV atau yang dikenal dengan Human Immunodeviciency Virus yang dapat masuk kedalam tubuh salah satunya melalui hubungan seks. Melihat situasi tersebut maka dilakukanlah berbagai survey dan riset untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut. Hasilnya, diketahui kondom dapat mencegah masuknya virus tersebut kedalam tubuh, bahkan sekaligus dapat mencegah terjadinya penularan infeksi menular seksual atau yang dikenal dengan IMS. Maka sejak saat itu fungsi dan manfaat kondom pun bertambah sebagai alat pencegahan IMS dan HIV melalui hubungan seks.

Lantas bagaimana bisa kondom dikatakan sebagai alat untuk melegalkan seks ‘bebas’? Atau apakah mereka mengerti yang dimaksud dengan seks bebas? Menurut pendapat saya pribadi, seks ‘bebas’ itu merupakan suatu kegiatan hubungan seks yang dilakukan secara bebas dalam arti dapat berhubungan seks dimana saja (di atas genteng, di kebun, di sawah, di jalan raya, dsb.), dilakukan dengan berbagai gaya (khayang, berdiri, duduk, tengkurap, terlentang, sambil lari, dsb.), dan dilakukan dengan siapa saja (laki-laki, perempuan, waria, gay, LSL, penasun, kurus, gendut, botak, keriting, dsb.). Tetapi jika hubungan seks tersebut dilakukan dengan selalu menggunakan kondom, artinya penularan IMS dan HIV tidak akan terjadi. Sedangkan jika hubungan seks tersebut dilakukan hanya satu kali saja dan tanpa menggunakan kondom, maka kemungkinan terjadinya penularan IMS dan HIV selalu ada, apa lagi jika pasangan seks kita tersebut memiliki IMS atau status HIV positif, karena kita tidak akan pernah tahu apa status IMS dan HIV kita dan pasangan seks kita, jika tidak pernah melakukan test IMS dan VCT (Voluntary Counseling and Testing).

Urusan seksualitas seseorang seharusnya mutlak menjadi urusan individu, bukan urusan orang banyak. Karena setuju atau tidak setuju, hal tersebut merupakan hak azazi seseorang atas tubuhnya sendiri bahkan sejak masih di dalam kandungan. Betapa aneh dan herannya melihat situasi yang ada di Indonesia, dimana para pejabat dan petinggi negara malah latah ikut-ikutan campur tangan mengutak-atik urusan seksual bangsanya karena ‘terprovokasi’ oleh beberapa golongan yang mengatasnamakan etika, moral, dan agama. Bahkan  tidak jarang pula hal tersebut dijadikan sebagai peralihan perhatian untuk menutupi kebobrokan kinerja mereka yang tidak dapat mengurus negara ini kearah yang lebih baik lagi, seperti kasus korupsi yang tiada henti. Ajaibnya, para provokator tersebut pun tidak pernah menyadari kalau sebenarnya merekalah yang diperbodoh oleh lingkaran setan permainan para pejabat dan petinggi tersebut sebagai umpan dalam ranah politik yang semakin semrawut.

Mari kita napak tilas sejenak sehubungan dengan kondom yang banyak diperguncingkan tanpa pernah diketahui kapan akan berakhir. Jauh sebelum kondom dipermasalahkan sekitar era sebelum tahun 2000, angka kehamilan diluar nikah sudah mengkhawatirkan diikuti dengan kasus aborsi dimana-mana. Kemudian di era tahun 2000 – 2010, kondom mulai menjadi topik pembicaraan hangat dimana-mana. Ibarat seorang artis yang sedang naik daun, selalu menjadi pergunjingan baik dari sisi positif dan maupun dari sisi negatif. Lalu, apakah kasus kehamilan diluar nikah menjadi berhenti? Tetap saja hal tersebut terjadi dimana-mana dan praktek aborsi pun menjamur hingga ke pelosok negri. Sekarang di era tahun 2010 – 2013, kondom menjadi suatu hal yang fenomenal. Bagaikan sebuah pohon, semakin tinggi batangnya tumbuh maka semakin kencang angin bertiup menggoncangnya. Demikian jugalah halnya dengan kondom. Semakin tinggi tingkat promosi dan anjuran penggunaannya maka semakin banyak pula yang menentang dan  mempermasalahkannya. Kembali terlontar pertanyaan yang sama, apakah kasus kehamilan diluar nikah menjadi berhenti? Sekali lagi jawabannya tetap sama, yaitu tetap saja hal tersebut terjadi dimana-mana dan praktek aborsi pun tetap menjamur hingga ke pelosok negri.

Jadi yang seharusnya menjadi tolak ukur untuk terjadinya suatu hubungan seks adalah bukan terletak pada kondomnya, namun terletak pada pikiran individunya dimana dalam hal ini otaklah yang memiliki peran terbesar untuk menentukan apa langkah selanjutnya. Coba kita sedikit berspekulasi, jika ada dua foto terpampang didepan kita, dimana foto pertama merupakan gambar kondom, dan foto kedua merupakan gambar sepasang manusia yang sedang bermesraan. Manakah dari kedua foto tersebut yang dapat membangkitkan gairah? Jika ada yang mengatakan foto kondom, maka orang tersebut perlu mendapatkan perawatan mental dari pakar psikiater handal. Bagaimana mungkin kondom bisa meningkatkan gairah seseorang? Fakta yang ada adalah justru kondom dapat mengendalikan gairah suatu hubungan seks dari ‘bebas’ menurut para ‘pakar’ etika, moral, dan agama, menjadi ‘aman’ menurut orang-orang yang paham akan fungsi dan manfaat kondom.

Satu hal lagi yang perlu dicermati. Seringkali kondom dilihat dari sisi hetero normatif, bahwa kondom hanya digunakan pada hubungan antara lelaki dengan perempuan saja. Bagaimana bisa? Jangan pernah melupakan komunitas gay, waria, dan LSL (GWL). Justru komunitas GWL-lah pengguna kondom terbesar. Jika para ‘pakar’ etika, norma, dan agama tersebut hanya menempatkan fungsi kondom sebagai alat penunjang program Keluarga Berencana saja, lantas bagaimana dengan komunitas GWL yang tidak akan pernah hamil? Apakah kondom menjadi suatu hal yang tidak boleh digunakan oleh komunitas GWL? Lalu, bagaimana caranya komunitas GWL agar terhindar dari IMS dan HIV? Pernahkah wahai para ‘pakar’ etika, norma, dan agama terlintas dalam pikiran kalian mengenai hal tersebut?

Janganlah pernah menghakimi manusia, karena penghakiman itu adalah milik TUHAN. Jadi jika hendak membawa masalah etika, norma, dan agama, maka harus jelas tolak ukur yang digunakan. Kondom selalu dianggap sebagai alat untuk melegalkan seks dan perzinahan. Lantas bagaimana dengan poligami? Bagi beberapa agama hal tersebut juga dianggap sebagai suatu zinah karena pernikahan adalah antara 2 manusia. Coba lihat dari segi seks ‘bebas’, bukankah poligami jelas-jelas berbicara tentang hubungan seks berganti-ganti pasangan? Pernikahan poligami hanyalah sebagai sebuah kedok untuk mengakomodir hubungan tersebut. Bagaimana jika salah satunya ada yang terinfeksi IMS atau HIV? Atau si suami yang sudah terbiasa berhubungan seks dengan beberapa istri, tiba-tiba bergairah ditempat lain dan berhubungan seks tanpa meggunakan kondom dengan orang yang bukan bagian dari pernikahannya yang memiliki IMS atau HIV, lalu pulang ke para istrinya dan berhubungan seks dengan semua istri-istrinya, bukankah semuanya menjadi terinfeksi? Hidup dijalur monogami saja dapat berisiko terinfeksi, apalagi di jalur poligami? Kalau otak seseorang sudah mesum, ya mesum saja bawaannya ada atau tidak ada kondom. Kalau sudah begini, apakah kondom yang masih disalahkan? Bukankah untuk mencegah hal tersebut terjadi ‘sang’ kondomlah yang menjadi pahlawannya?

Kondom, sungguh si ‘mungil’ yang sangat fenomenal.

Oleh : Ryan Hutagalung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar