…..dirimu kecil namun elastis…..
…..bentukmu lucu
namun dewasa…..
…..hadirmu
sering dipertentangkan….
…..sosokmu
dicari juga dihindari…..
…..amanlah bagi yang mengerti…..
…..resahlah bagi yang menjauhi…..
Sejak kemunculannya, kondom selalu menjadi suatu hal yang
fenomenal. Sering kali dijadikan bahan untuk pertentangan. Tanpa disadari
permasalahan kondom ini menciptakan 2 kubu yang saling bertentangan. Satu kubu
sudah tentu mereka yang mengerti fungsi dan manfaat kondom dari berbagai sisi
positif, sedangkan kubu satu lagi adalah orang-orang yang selalu menganggap
kondom adalah hal yang tabu dan negatif tanpa pernah mau mencoba untuk
memahami fungsinya secara medis, bahkan memvonis kondom sebagai alat untuk
melegalkan seks ‘bebas’.
Kondom pertama kali diperkenalkan sebagai alat untuk
mencegah kehamilan dan dipromosikan bagi pasangan yang telah menikah untuk
menunda kehamilan dan memberi jarak waktu kelahiran atau untuk menekan angka
kelahiran yang dikenal dalam program Keluarga Berencana. Namun seiring dengan
berjalannya waktu manusia mulai dihadapkan dengan suatu permasalahan dalam
bidang kesehatan, yaitu HIV atau yang dikenal dengan Human Immunodeviciency Virus
yang dapat masuk kedalam tubuh salah satunya melalui hubungan seks. Melihat
situasi tersebut maka dilakukanlah berbagai survey dan riset untuk mencari
solusi dari permasalahan tersebut. Hasilnya, diketahui kondom dapat mencegah
masuknya virus tersebut kedalam tubuh, bahkan sekaligus dapat mencegah
terjadinya penularan infeksi menular seksual atau yang dikenal dengan IMS. Maka
sejak saat itu fungsi dan manfaat kondom pun bertambah sebagai alat pencegahan
IMS dan HIV melalui hubungan seks.
Lantas bagaimana bisa kondom dikatakan sebagai alat untuk
melegalkan seks ‘bebas’? Atau apakah mereka mengerti yang dimaksud dengan seks
bebas? Menurut pendapat saya pribadi, seks ‘bebas’ itu merupakan suatu kegiatan
hubungan seks yang dilakukan secara bebas dalam arti dapat berhubungan seks dimana
saja (di atas genteng, di kebun, di sawah, di jalan raya, dsb.), dilakukan
dengan berbagai gaya (khayang, berdiri, duduk, tengkurap, terlentang, sambil
lari, dsb.), dan dilakukan dengan siapa saja (laki-laki, perempuan, waria, gay,
LSL, penasun, kurus, gendut, botak, keriting, dsb.). Tetapi jika hubungan seks
tersebut dilakukan dengan selalu menggunakan kondom,
artinya penularan IMS dan HIV tidak akan terjadi. Sedangkan jika hubungan seks
tersebut dilakukan hanya satu kali saja dan tanpa menggunakan kondom, maka
kemungkinan terjadinya penularan IMS dan HIV selalu ada, apa lagi jika pasangan
seks kita tersebut memiliki IMS atau status HIV positif, karena kita tidak akan
pernah tahu apa status IMS dan HIV kita dan pasangan seks kita, jika tidak
pernah melakukan test IMS dan VCT (Voluntary Counseling and Testing).
Urusan seksualitas seseorang seharusnya mutlak menjadi
urusan individu, bukan urusan orang banyak. Karena setuju atau tidak setuju,
hal tersebut merupakan hak azazi seseorang atas tubuhnya sendiri bahkan sejak
masih di dalam kandungan. Betapa aneh dan herannya melihat situasi yang ada di
Indonesia, dimana para pejabat dan petinggi negara malah latah ikut-ikutan
campur tangan mengutak-atik urusan seksual bangsanya karena ‘terprovokasi’ oleh
beberapa golongan yang mengatasnamakan etika, moral, dan agama. Bahkan tidak jarang pula hal tersebut dijadikan
sebagai peralihan perhatian untuk menutupi kebobrokan kinerja mereka yang tidak
dapat mengurus negara ini kearah yang lebih baik lagi, seperti kasus korupsi
yang tiada henti. Ajaibnya, para provokator tersebut pun tidak pernah menyadari
kalau sebenarnya merekalah yang diperbodoh oleh lingkaran setan permainan para
pejabat dan petinggi tersebut sebagai umpan dalam ranah politik yang semakin
semrawut.
Mari kita napak tilas sejenak sehubungan dengan kondom
yang banyak diperguncingkan tanpa pernah diketahui kapan akan berakhir. Jauh
sebelum kondom dipermasalahkan sekitar era sebelum tahun 2000, angka kehamilan
diluar nikah sudah mengkhawatirkan diikuti dengan kasus aborsi dimana-mana.
Kemudian di era tahun 2000 – 2010, kondom mulai menjadi topik pembicaraan
hangat dimana-mana. Ibarat seorang artis yang sedang naik daun, selalu menjadi
pergunjingan baik dari sisi positif dan maupun dari sisi negatif. Lalu, apakah
kasus kehamilan diluar nikah menjadi berhenti? Tetap saja hal tersebut terjadi
dimana-mana dan praktek aborsi pun menjamur hingga ke pelosok negri. Sekarang
di era tahun 2010 – 2013, kondom menjadi suatu hal yang fenomenal. Bagaikan
sebuah pohon, semakin tinggi batangnya tumbuh maka semakin kencang angin
bertiup menggoncangnya. Demikian jugalah halnya dengan kondom. Semakin tinggi
tingkat promosi dan anjuran penggunaannya maka semakin banyak pula yang
menentang dan mempermasalahkannya. Kembali
terlontar pertanyaan yang sama, apakah kasus kehamilan diluar nikah menjadi
berhenti? Sekali lagi jawabannya tetap sama, yaitu tetap saja hal tersebut
terjadi dimana-mana dan praktek aborsi pun tetap menjamur hingga ke pelosok
negri.
Jadi yang seharusnya menjadi tolak ukur untuk terjadinya
suatu hubungan seks adalah bukan terletak pada kondomnya, namun terletak pada
pikiran individunya dimana dalam hal ini otaklah yang memiliki peran terbesar
untuk menentukan apa langkah selanjutnya. Coba kita sedikit berspekulasi, jika
ada dua foto terpampang didepan kita, dimana foto pertama merupakan gambar
kondom, dan foto kedua merupakan gambar sepasang manusia yang sedang
bermesraan. Manakah dari kedua foto tersebut yang dapat membangkitkan gairah?
Jika ada yang mengatakan foto kondom, maka orang tersebut perlu mendapatkan
perawatan mental dari pakar psikiater handal. Bagaimana mungkin kondom bisa
meningkatkan gairah seseorang? Fakta yang ada adalah justru kondom dapat
mengendalikan gairah suatu hubungan seks dari ‘bebas’ menurut para ‘pakar’
etika, moral, dan agama, menjadi ‘aman’ menurut orang-orang yang paham akan
fungsi dan manfaat kondom.
Satu hal lagi yang perlu dicermati. Seringkali kondom
dilihat dari sisi hetero normatif, bahwa kondom hanya digunakan pada hubungan
antara lelaki dengan perempuan saja. Bagaimana bisa? Jangan pernah melupakan
komunitas gay, waria, dan LSL (GWL). Justru komunitas GWL-lah pengguna kondom
terbesar. Jika para ‘pakar’ etika, norma, dan agama tersebut hanya menempatkan
fungsi kondom sebagai alat penunjang program Keluarga Berencana saja, lantas
bagaimana dengan komunitas GWL yang tidak akan pernah hamil? Apakah kondom
menjadi suatu hal yang tidak boleh digunakan oleh komunitas GWL? Lalu,
bagaimana caranya komunitas GWL agar terhindar dari IMS dan HIV? Pernahkah
wahai para ‘pakar’ etika, norma, dan agama terlintas dalam pikiran kalian
mengenai hal tersebut?
Janganlah pernah menghakimi manusia, karena penghakiman
itu adalah milik TUHAN. Jadi jika hendak membawa masalah etika, norma, dan
agama, maka harus jelas tolak ukur yang digunakan. Kondom selalu dianggap
sebagai alat untuk melegalkan seks dan perzinahan. Lantas bagaimana dengan
poligami? Bagi beberapa agama hal tersebut juga dianggap sebagai suatu zinah
karena pernikahan adalah antara 2 manusia. Coba lihat dari segi seks ‘bebas’,
bukankah poligami jelas-jelas berbicara tentang hubungan seks berganti-ganti
pasangan? Pernikahan poligami hanyalah sebagai sebuah kedok untuk mengakomodir
hubungan tersebut. Bagaimana jika salah satunya ada yang terinfeksi IMS atau
HIV? Atau si suami yang sudah terbiasa berhubungan seks dengan beberapa istri,
tiba-tiba bergairah ditempat lain dan berhubungan seks tanpa meggunakan kondom
dengan orang yang bukan bagian dari pernikahannya yang memiliki IMS atau HIV, lalu
pulang ke para istrinya dan berhubungan seks dengan semua istri-istrinya,
bukankah semuanya menjadi terinfeksi? Hidup dijalur monogami saja dapat
berisiko terinfeksi, apalagi di jalur poligami? Kalau otak seseorang sudah
mesum, ya mesum saja bawaannya ada atau tidak ada kondom. Kalau sudah begini,
apakah kondom yang masih disalahkan? Bukankah untuk mencegah hal tersebut
terjadi ‘sang’ kondomlah yang menjadi pahlawannya?
Kondom, sungguh si ‘mungil’ yang sangat fenomenal.
Oleh : Ryan Hutagalung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar