Jumat, 26 Juli 2013

Puasa dan Kesehatan Mental

courtesy of lifebeyondtheveil.co

Saat berpuasa, baik fisik maupun mental kita sedang menjalani sebuah latihan, meski yang paling nyata memang latihan menahan rasa lapar dan haus. Dengan berpuasa, seperti ajaran yang turun temurun dalam agama, bahwa manusia dapat menjadi lebih tenang dan memiliki kesadaran spiritual.


Puasa dan Umat
Selama ini puasa sangat lekat dengan identitas sebagai muslim. Memang di dunia terdapat satu milyar kaum muslim yang melakukan puasa selama bulan Ramadhan. Tapi selain umat muslim, hampir 14 juta umat Yahudi berpuasa pada Day of Atonement (Yom Kippur) yaitu hari penghapusan dosa, dan saat-saat lainnya. Penganut ajaran Hindu juga puasa pada hari Ekadashi, Janmashtami, dan bulan Shravan. Ajaran agama apapun sepakat mengenai ritual puasa demi manusia mencapai keadaan mental yang sehat.

Puasa dan Jenisnya
Metode melakukan puasa bervariasi, tidak selalu harus dilakukan seharian penuh seperti yang dilakukan umat Muslim saat bulan Ramadhan. Di luar puasa sebagai bagian dari ritual keagamaan, puasa ditinjau dari sisi kesehatan menuntut adanya asupan kalori yang teratur. Cara pengaturannya bisa dengan memodifikasi waktu puasa, jumlah kalori yang dikonsumsi, dan jenis asupan yang dikonsumsi.

Jenis puasa berdasarkan pengaturan waktu dan jumlah kalorinya adalah:
  • Intermittent Fasting (IF): dikenal sebagai puasa selang sehari, tidak makan satu hari kemudian makan satu hari. Dilakukan pada jangka waktu tertentu.
  • Pembatasan makanan untuk 2 hari sampai beberapa minggu. Selama hanya mengonsumsi 200-500 kalori per hari dalam bentuk buah atau karbohidrat yang mudah dicerna seperti nasi.
  • Calorie Restriction: dalam periode tertentu kalori dibatasi asupannya 30-40% lebih sedikit daripada sehari-hari. 

Selain pengaturan waktu, jenis asupan pun bisa menjadi dasar dilakukannya puasa. Tiga jenis puasa menurut asupannya adalah:

  • Dry fasting (puasa kering). Dilakukan jika selama puasa individu menghentikan semua makan dan minum. 
  • Juice fasting. Saat menerapkan metode ini individu diperkenankan mengonsumsi jus. Jus dibuat dengan campuran air, sayuran dan buah-buahan murni, tanpa tambahan gula. Konsumsi jus sangat cocok untuk mengendalikan kewaspadaan mental, badan masih mendapat asupan nutrisi penting yang dibutuhkan.
  • Modified fasting. Metode campuran yang memungkinkan individu untk minum dan makan dalam jumlah kecil seperti sayur kukus dan buah, juga teh.
Puasa dan Neurotransmiter
Bagi yang tidak terbiasa berpuasa tentu bertanya-tanya, “Apa nggak semaput tuh nggak makan nggak minum seharian?”. Manusia adalah mahluk dengan tingkat adaptasi yang paling tinggi. Selama minggu pertama puasa, tubuh mulai beradaptasi dengan rasa lapar melalui pelepasan masif hormon katekolamin, termasuk epinefrin (adrenalin), norepinefrin, dan dopamin. Selain itu juga ada pelepasan glukokortikoid, sebuah hormon steroid untuk mengatur respon imun dan metabolisme glukosa (gula).

Zat yang tersebut di atas merupakan zat kimiawi yang juga dilepaskan saat manusia berada dalam kondisi stress. Respon ini dikenal sebagai respon ‘fight or flight’. Hanya dalam waktu sebentar, badan mampu merespon keadaan lapar sehingga merasa lebih baik dan bahkan ingin terus melanjutkan puasa. Pada fase ini tubuh terlindungi dari kemungkinan kerusakan oksidatif dan ketahanan sel terhadap stres meningkat. Mekanisme yang sama juga terjadi pada tubuh orang yang rajin berolahraga.

Puasa dan Studi Ilmiah
Michaelson et. al. pada 2009 dalam hasil studinya memaparkan bahwa puasa terapeutik mampu menurunkan gejala depresi dan memperbaiki skor kecemasan pada 80% pasien nyeri kronik dalam beberapa hari. Mekanisme pastinya tidak diketahui, mungkin saja terkait dengan pelepasan endorfins pada 48 jam pertama puasa. Melalui pengeluaran endorfin yang tinggi akan membuat orang seperti menggunakan opiat, membuat badan terasa nyaman. Studi Michaelson et. al. pada tahun 2003 menunjukan bahwa setelah 8 hari puasa terapeutik terjadi perbaikan tidur dibanding sebelum puasa.

Pada orang yang beberapa malam sulit tidur maka moodnya akan mengalami gangguan serta merasa tidak sejahtera. Gangguan seperti ini juga mengakibatkan tidur menjadi sulit, sebuah lingkaran setan. Ketika mereka berpuasa, kualitas tidur menjadi lebih baik.

Dengan berpuasa juga dapat meningkatkan kadar serotonin, yakni hormon yang diperlukan manusia untuk bisa merasakan percaya diri dan berharga. Jenis puasa intermiten mampu meningkatkan zat kimia BDNF (brain-derived neurotrophic factor), yang terkait dengan peningkatan neurogenesis hipokampus, sebuah proses pembentukan neuron (sel saraf) di otak. Artinya makin banyak BDNF, makin baik proses pembentukan neuron baru. Pada model binatang, BDNF terlihat dapat memperbaiki fungsi otak yang terkena stroke, penyakit Parkinson, dan Huntington.

Di tubuh kita terjadi sebuah proses yang dinamakan autofagi, yakni suatu proses fisiologis di mana sel tubuh yang tua pecah strukturnya dan material sampahnya di daur ulang menjadi materi baru. Kondisi ini lazim terjadi saaat sel kekurangan energi akibat kurangnya asupan, atau keadaan penyakit tertentu sebagai respon pertahanan. Melalui proses ini, komponen yang dianggap tidak penting dari sel akan dibuang atau didaur ulang.

Puasa dan Gangguan Jiwa
Dari uraian studi di atas, puasa memurnikan sel seluruh tubuh, termasuk otak dengan sel saraf yang baru. Status mental negatif seperti kecemasan (ansietas), bosan/jenuh, kesepian, tegang, dan takut, merupakan ekspresi mental yang bisa memengaruhi status fisik. Ketika otak dibebaskan dari toksin, jiwa menjadi bebas tekanan fisiologis dan kemudian psikologis. Obat psikologis hanya sementara memengaruhi status mental melalui kerjanya di otak, sementara puasa akan membuat mereka terbebas dari toksin. (Bragg & Bragg, 1999).

Referensi:


Editor:

Angsamerah Clinic
Graha Media Building Lt. 2
Jl. Blora 8-10, Menteng, Jakarta Pusat 10310
+6221-3915189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar